Analisis Biaya Politik Tinggi di Indonesia dan Implikasinya untuk Pilkada di Ponorogo

- 25 Mei 2024, 20:39 WIB
Prof Ward Berenschot: Uang Berperan Besar dalam Kemunduran Demokrasi RI
Prof Ward Berenschot: Uang Berperan Besar dalam Kemunduran Demokrasi RI /

Songgolangit.com – Dalam diskusi bertajuk "Eksplorasi Gagasan Menata Demokrasi Pasca-Pemilu 2024," Ward, Peneliti Senior dari Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) Leiden, menyoroti bahwa demokrasi di Indonesia menghadapi tantangan signifikan akibat tingginya ongkos politik.

Menurut penulis buku 'Democracy for Sale' itu, sudah tiba saatnya bagi Indonesia untuk mereformasi sistem pemilihan umum yang memungkinkan sumber daya manusia yang kompeten untuk berpartisipasi tanpa harus mengeluarkan uang dalam jumlah besar.

Biaya politik yang mahal ini, sebagaimana diungkap Ward, disebabkan oleh keperluan partai politik untuk menanggung biaya logistik saksi pemilu, tim sukses, dan kebutuhan lain yang berpotensi menjerumuskan mereka ke dalam praktik mahar politik.

Kondisi ini diperparah dengan adanya individu kaya yang mungkin kurang memiliki visi pembangunan negara namun mampu membiayai kegiatan politik.

Baca Juga: Mengapa Pemerintah Kolonial Takut pada Sekolah Bumiputra? Ini Rahasia Ordonansi Sekolah Liar!

Dari data yang dikumpulkan Kompas pada tahun 2018, biaya saksi pemilu terbagi dalam dua aspek utama: biaya pelatihan dan honorarium untuk bertugas di hari pemungutan suara dan saat rekapitulasi. Dengan asumsi satu saksi per Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan honor rata-rata lebih dari Rp 100.000 pada tahun 2018, belum termasuk biaya pelatihan dan honor saksi di tingkat yang lebih tinggi, anggaran yang dibutuhkan menjadi sangat besar.

Misalnya, Kabupaten Ponorogo dengan 2.893 TPS akan memerlukan anggaran sekitar 2,893 miliar rupiah hanya untuk saksi dari masing-masing calon kepala daerah. Perhitungan itu dibuat dengan asumsi biaya per saksi adalah 1 juta rupiah. Angka ini, dengan beberapa variasinya, menjadikan alasan organisasi politik untuk mengenakan 'mahar' kepada calon kontestan pilkada.

Lebih lanjut, Ward menekankan bahwa Bawaslu memiliki keterbatasan anggaran dalam pengawasan praktik politik uang, yang membuat fenomena vote buying - atau secara umum disebut money politics - menjadi lumrah dan sulit dihentikan. Ini berujung pada eskalasi biaya politik yang harus dikeluarkan oleh calon kepala daerah, anggota legislatif, atau partai politik untuk memenangkan pemilihan.

Pentingnya membedakan antara money politics (politik uang) dan political cost (dana politik) juga ditekankan. Ward menjelaskan bahwa politik uang adalah praktik yang dilarang, sementara dana politik adalah hal yang esensial untuk membiayai spanduk, poster, baju kampanye, dan iklan.

Baca Juga: Karpet Merah PDIP untuk Para Penguasa Daerah: Strategi Menangkan Pilkada 2024

Halaman:

Editor: Yudhista AP


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah