Pengamat: Afiliasi Parpol Bukan Faktor Utama dalam Pilkada Ponorogo

- 26 Mei 2024, 21:36 WIB
Sucahyo Tri Budiono, pengamat politik dari UWK Surabaya
Sucahyo Tri Budiono, pengamat politik dari UWK Surabaya /YAP/SL

Songgolangit.com – Pilkada pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005, membuka babak baru dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Perubahan yang lebih progresif terjadi dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, yang memperluas cakupan peserta pilkada dengan memasukkan pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah pemilih.

Langkah ini merupakan tindak lanjut dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang berkaitan dengan peserta Pilkada. Keputusan itu memungkinkan Pilkada diikuti oleh calon non-partai, atau biasa dikenal dengan calon independen.

Drs. Sucahyo Tri Budiono, M.Si., pengamat politik Jawa Timur, mengungkapkan, "Karakteristik masyarakat Ponorogo itu unik, tidak mengikuti partai. Masyarakat bisa menentukan pilihannya sendiri, menilai track record kandidat untuk menjadi pilihannya."

Hal ini menunjukkan bahwa dinamika politik lokal dapat berbeda secara signifikan dari politik nasional, di mana warga memiliki kebebasan untuk menilai dan memilih kandidat berdasarkan prestasi dan rekam jejak, bukan sekadar afiliasi partai. Di zaman terdahulu, Ponorogo dikenal sebagai 'kandang Banteng', dan ada juga kelompok yang 'pejah gesang ikut Masyumi', namun era itu sudah berlalu.

Baca Juga: Analisis Biaya Politik Tinggi di Indonesia dan Implikasinya untuk Pilkada di Ponorogo

"Sebagai contoh, kandidat yang diusung partai besar tak menjamin dia bisa masuk ke DPR-RI. Padahal, suara partainya menjadi jawara dalam pileg di DPRD Kabupaten," tambah Sucahyo, menegaskan bahwa popularitas partai tidak selalu berbanding lurus dengan kesuksesan kandidatnya.

Pemilu terakhir juga membuktikan bahwa pilihan masyarakat tidak selalu sama dengan yang digariskan partai politik, menandakan kematangan pemilih dalam menentukan arah politik daerah. Partai politik (Parpol) saat ini berperan sebagai lembaga yang menjadi pintu masuk calon untuk maju dalam Pilkada.

Namun, selain soal legal-formal, infrastruktur partai juga berfungsi sebagai sarana sosialisasi program calon dan menarik simpati rakyat.

Di Ponorogo, belum pernah ada Bupati yang menjabat dua periode sejak era reformasi. "Itu bukan mitos. Itu fakta di lapangan," ujar dosen senior yang purna dari jabatan Dekan FISIP UWK Surabaya itu.

Baca Juga: Karpet Merah PDIP untuk Para Penguasa Daerah: Strategi Menangkan Pilkada 2024

Fenomena ini mencerminkan bahwa rakyat Ponorogo di era demokrasi baru telah berkembang dalam cara pandang dan pendidikan. Banyak warga yang memiliki pengalaman hidup di luar kota atau berasal dari kota lainnya, sehingga perspektif mereka terhadap kepemimpinan lokal menjadi lebih luas.

Reformasi sistem pemilihan kepala daerah di Indonesia telah mengalami evolusi signifikan sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang memungkinkan kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pilkada.

Sebelumnya, pada era pra-2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah ditentukan oleh DPRD, sebuah praktik yang kini telah tergantikan oleh sistem pemilihan langsung yang lebih demokratis.

Baca Juga: Rakernas PDIP: Antara Ideologi Partai dan Manuver Politik Jokowi, Ini Penjelasan Panda Nababan

"Media massa dan media sosial turut memberikan warna dalam dinamika demokrasi pasca reformasi", ungkap Sucahyo. Kondisi ini memungkinkan informasi mengalir lebih cepat dan lebih luas, serta memberikan ruang bagi warga untuk berpartisipasi secara aktif dalam diskusi politik di ruang publik. ***

Editor: Yudhista AP


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah