Kang Tejo: Dari Rektor ke Kebun, Mengurai Makna Hidup Lewat Tanah

- 30 April 2024, 12:38 WIB
Sutejo mengangkat uwi hasil panen dari kebunnya di Ponorogo, Jawa Timur, Jumat (27/4)/2024).
Sutejo mengangkat uwi hasil panen dari kebunnya di Ponorogo, Jawa Timur, Jumat (27/4)/2024). / ANTARA/Masuki M. Astro/


Songgolangit.com - Di sudut Desa Tajug, Kecamatan Siman, terhampar sebuah kebun subur seluas 540 meter persegi. Di sana, Doktor H Sutejo, yang dulu dikenal sebagai rektor sebuah perguruan tinggi swasta, kini beralih peran menjadi seorang pegiat literasi alam.

Setiap hari, ia menghabiskan waktu untuk merawat kebun yang terletak tepat di samping rumahnya.

Bukan sekadar kegiatan untuk mengisi waktu luang, kebun bagi Kang Tejo, sapaan akrabnya, merupakan sebuah ruang edukatif dan spiritual. Dengan tangan yang terampil, ia menanam, menyiangi gulma, dan merawat tanaman-tanaman yang tumbuh di lahan miliknya.

Musim kemarau bukan halangan, Kang Tejo tetap setia menyiram dan memelihara lahan pertanian yang telah menjadi bagian dari kehidupannya.

Kang Tejo tidak hanya berkebun, ia juga mengajak beberapa anak asuhnya untuk turut serta dalam kegiatan ini. Melalui sentuhan langsung dengan tanah dan tanaman, ia ingin mendekatkan mereka kepada dunia pertanian dan alam, yang menurutnya dapat membawa pikiran pada rasa damai.

Baca Juga: Kenangan untuk Joko Pinurbo, Guru Sastra yang Mengajar Lewat Kehidupan

"Dekat dengan alam itu penting, anak-anak harus merasakan bagaimana bekerja dengan tanah, menyentuh tanaman, merasakan kedamaian yang ditawarkan oleh alam," ujar Kang Tejo.

Sebagai pelaku seni yang telah menulis puluhan buku, Kang Tejo menemukan cara baru untuk mengekspresikan kreativitasnya.

Ia berinteraksi dengan tanah dan tanaman dengan cara yang unik, yaitu dengan melepas sandal. Kakinya yang bersentuhan langsung dengan tanah, atau yang dalam budaya Jawa disebut Ibu Bumi, menunjukkan penghormatannya yang mendalam terhadap alam.

Dalam menyiapkan tanah untuk ditanami, Kang Tejo menggunakan bahan-bahan alami seperti sampah daun, jerami yang dibakar, dan kotoran sapi. Ia tidak lagi terikat dengan gelar akademik atau status sosialnya sebagai dosen dan tokoh sastra. Baginya, apa arti gelar dan jabatan jika tidak bermakna bagi banyak orang?

Halaman:

Editor: Yudhista AP


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah