Kontroversi Food Estate 1 Juta Hektare: Apakah Solusi atau Masalah Baru?

26 April 2024, 21:30 WIB
Kementan Sampaikan Kawasan Food Estate Pulang Pisau Kalimantan Tengah Memasuki Masa Panen /dok Kementerian Pertanian



Songgolangit.com - Di tengah upaya pemerintah untuk meningkatkan produksi pangan nasional, muncul polemik terkait rencana pembukaan lahan padi baru seluas 1 juta hektare di Kalimantan. Kebijakan ini, yang melibatkan investasi dari China, dipertanyakan relevansinya oleh Prof Totok Agung Dwi Haryanto, seorang pakar pertanian dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed).

Menurut Prof Totok, Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar dalam meningkatkan indeks pertanaman dengan memanfaatkan lahan sawah yang sudah ada.

"Sebetulnya kita memiliki kemampuan dari segi SDM, teknologi, maupun budaya yang mendukung untuk terpenuhinya kebutuhan pangan," ujar Prof Totok dalam wawancara di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.

Baca Juga: Inilah Alasan Pemerintah Naikkan Harga Beras dan HPP Gabah

Ia menambahkan bahwa permasalahan utama terletak pada kebijakan yang belum sepenuhnya berpihak kepada kesejahteraan petani dan kedaulatan pangan di Indonesia. Prof Totok menegaskan bahwa mencetak sawah baru di Kalimantan bukanlah prioritas utama saat ini.

Risiko yang dihadapi apabila proyek food estate ini dilaksanakan tidaklah kecil. Prof Totok memperingatkan akan terjadi pengambilalihan hak kepemilikan lahan dari masyarakat lokal, yang berpotensi menimbulkan konflik sosial. "Hal itu akan berpotensi menimbulkan persoalan atau konflik di masyarakat," ungkapnya.

Masalah lain yang disoroti adalah terkait dengan kesuburan lahan dan ketersediaan air di Kalimantan, yang hanya memungkinkan penanaman padi sekali setahun, atau memerlukan investasi besar untuk penyediaan air guna penanaman dua kali setahun.

Baca Juga: Tarif Sewa Mesin Panen Padi Melambung, Bagaimana Nasib Petani?

Lebih jauh, Prof Totok berpendapat bahwa food estate di Kalimantan tidak akan berdampak signifikan terhadap kesejahteraan petani. Ia menjelaskan bahwa ketika produksi padi meningkat, harga tawar produk panen petani cenderung melemah, seperti yang terjadi pada harga gabah saat panen raya.

Kritik Prof Totok juga tertuju pada penggunaan investasi dan tenaga asing dalam pengembangan lahan padi baru ini. "

Pengembangan padi 1 juta hektare dengan investasi dan tenaga asing itu menggambarkan seolah-olah pemerintah kurang percaya dengan kepakaran dan penguasaan teknologi oleh petani maupun ahli pertanian di Indonesia," katanya.

Totok menyarankan agar pemerintah melakukan kajian yang saksama dan detail terkait dengan aspek politik, ekonomi, budaya, dan keberlanjutan daya dukung lahan sebelum memulai proyek tersebut.

"Kalaupun mau mengembangkan sawah 1 juta hektare itu perlu kajian yang saksama dan detail," tegas Prof Totok.

Baca Juga: Program Padi IP 400, Panen 4 Kali Setahun, Siap Melonjak 7 Kali Lipat!!

Di sisi lain, Prof Totok menekankan bahwa Indonesia masih memiliki potensi besar dalam aspek peningkatan indeks pertanaman. Ia menyampaikan bahwa dengan lahan sawah beririgasi yang luasnya mencapai 7,1 juta hektare dan usia tanaman padi rata-rata 3,5 bulan, ada peluang untuk melakukan penanaman padi hingga tiga kali dalam setahun.

Saat ini, indeks pertanaman padi di Indonesia baru mencapai 1,55, yang artinya masih ada ruang untuk peningkatan hingga 1,45 kali penanaman.

Kesimpulannya, pendekatan yang lebih berpihak pada peningkatan produksi dari lahan yang sudah ada tampaknya lebih mendesak dan relevan, dibandingkan dengan rencana pembukaan lahan baru yang menyimpan banyak risiko. Kebijakan pertanian yang bijaksana dan berkelanjutan merupakan kunci untuk mencapai kesejahteraan petani dan kedaulatan pangan di Indonesia. ***

Editor: Yudhista AP

Sumber: Antara

Tags

Terkini

Terpopuler