Kreativitas Seni Cethe Kopi dan Kisah Perang Candu di Tanah Jawa

7 Juni 2024, 16:19 WIB
Cethe kopi di batang rokok /Wirastho/SL

Songgolangit.com - Seni cethe, sebuah tradisi kreatif yang tidak hanya memikat mata namun juga menyimpan nilai historis yang mendalam. Cethe, yang kini dianggap sebagai kegiatan rekreasi, ternyata memiliki akar sejarah yang erat kaitannya dengan perjuangan para ulama di masa lalu dalam melawan penyebaran candu oleh VOC dan kolonial Belanda.

Candu, yang dulu menjadi sumber pendanaan utama bagi penjajah, telah memberikan dampak buruk bagi masyarakat. Para ulama, dengan kearifan lokal mereka, mencari cara untuk memutus mata rantai ini. Mereka memperkenalkan cethe, sebuah kegiatan yang menggabungkan rokok dengan aroma kopi sebagai alternatif dari candu. Hal ini tidak hanya meminimalisir pengaruh buruk candu tetapi juga secara tidak langsung melemahkan perekonomian penjajah.

Seni cethe, yang juga dikenal sebagai seni ampas kopi, menampilkan kemiripan visual yang menarik dengan candu. Ampas kopi yang telah digiling hingga halus, dicampur dengan gula atau vanili, menciptakan tekstur yang unik dan sedikit lengket. Tradisi kreatif ini sengaja diperkenalkan kembali kepada para santri dan masyarakat, dimana awalnya cethe ini adalah solusi yang ditawarkan para ulama tempo dulu untuk memerangi persebaran candu yang meluas di masyarakat.

"Bahkan, tidak sedikit kyai dan keturunannya yang telah jatuh dalam jebakan lumpur candu. Ini lebih sehat dan tentunya lebih terjangkau," ungkap salah satu kyai yang turut melestarikan tradisi ini.

Baca Juga: Saksi Bisu Perjuangan: HUT ke-88 Persatuan Hati Ponorogo Diperingati dengan Reog dan Silat!

Proses pembuatan cethe sendiri adalah sebuah kegiatan yang memerlukan ketelitian dan kreativitas. Dari ampas kopi yang sudah dicampur dengan bahan-bahan lainnya, dibentuklah berbagai macam figur yang estetik. Kegiatan ini tidak hanya melatih kesabaran tetapi juga mengasah imajinasi dan kreativitas anak-anak muda.

Dalam konteks modern, cethe telah berevolusi menjadi lebih dari sekadar simbol perjuangan. Ia telah menjadi medium untuk mengedukasi generasi muda tentang sejarah dan pentingnya mempertahankan budaya lokal. Sekaligus, cethe menjadi wadah bagi para seniman untuk mengekspresikan diri dan menghargai warisan budaya.

Sejarah cethe yang kaya ini mengajarkan kita tentang pentingnya inovasi dan adaptasi dalam menghadapi tantangan. Kesenian ini tidak hanya memperkaya khazanah budaya Indonesia tetapi juga mengingatkan kita akan kekuatan seni dalam mempengaruhi perubahan sosial

Baca Juga: Menguak Rahasia Kertas Gedog: Warisan Intelektual Pesantren Gebang Tinatar Ponorogo

Perang Candu di Tanah Jawa

Di tengah maraknya perbincangan mengenai bahaya narkoba yang mengancam generasi muda, penting bagi kita untuk melakukan introspeksi terhadap sejarah narkotika di Indonesia, terutama candu, yang telah lama menjadi bagian dari perjalanan bangsa ini.

Candu, zat adiktif yang sering digambarkan mirip dengan ampas rokok berwarna coklat kehitaman, tidak hanya mengikat penggunanya dalam belenggu ketergantungan, tetapi juga berpotensi meruntuhkan imunitas tubuh, bahkan hingga maut menjemput.

Kehadiran candu di Nusantara tercatat dalam lembaran-lembaran sejarah, seperti yang diungkapkan oleh Laurentius Dyson P dalam "Koentjaraningrat A Memorial Lectures XII/2015". Pada masa sebelum pecahnya Perang Candu di Cina, candu telah memasuki Bumi Pertiwi, dibawa oleh pedagang Arab dan awalnya hanya dikonsumsi oleh kelompok-kelompok tertentu sebelum akhirnya tersebar luas di masyarakat.

Pada abad-16, candu yang berasal dari getah Opium ini adalah narkoba yang lazim dikonsumsi di nusantara.

Melalui pedagang Arab, Cina maupun India yang hilir mudik memasok hingga memasarkan, dari  Asia Tengah getah bunga popy ini mengalir ke tepian teluk Bengala atau melintasi Burma menuju semenanjung Malaya sebelum dipasarkan ke penjuru Nusantara.

Baca Juga: Skandal Brotodiningrat: Pengadilan, Pengasingan, serta Pembelaan Tirto Adhi Soerjo dan Snouck Hurgronje

Candu adalah komoditas klasik Asia yang membuat para saudagar kaya-raya.  Para Raja dan sultan-sultan dari Aceh, Riau, Melaka hingga Kepulauan Maluku pernah berhasil  mendulang pundi-pundi harta dari izin monopoli peredaran opium. Peredarannya yang dibatasi membuat suplai dan harga candu terjaga.

Dan tentu saja selain menjual, sejumlah raja gemar mabuk candu.  Pelaut Portugis Tome Pires dalam "Suma Oriental" merangkum sejumlah kebiasaan-kebiasaan  para raja dan sultan di nusantara.

Era perdagangan candu mencapai puncaknya ketika VOC, atau Vereenigde Oost-Indische Compagnie, mulai memonopoli perdagangan zat adiktif ini sejak tahun 1677. Sebuah perjanjian dengan Sultan Amangkurat II dari Mataram membuka lebar jalur perdagangan candu.

"Candu diserahkan kepada raja-raja oleh pihak VOC sebagai hadiah, sehingga para pemimpin menjadi orang-orang pertama yang menikmati candu pada akhir tahun 1600-an," ungkap Dyson.

Baca Juga: RA Soeharsikin: Ibu Kost Legendaris, Pendamping Tjokroaminoto Mengasuh Para Pemuda Aktivis Pergerakan

Meskipun demikian, tidak semua pihak berdiam diri menyaksikan penyebaran candu. Sunan Pakubuwono II pada tahun 1742 dan gerakan Padri pada 1803 adalah beberapa contoh yang menunjukkan adanya perlawanan terhadap konsumsi candu.

Sunan Pakubuwono IV bahkan secara eksplisit mengkritik pengaruh buruk candu dalam buku "Wulang Reh".; “Anu cacat agung malih, anglangkungi saking awon, apan sekawan iku akeh apun. Dhingin wong madati, pindho wong nabotohan, kaping tiga wong durjana, kaping sakawane ugi,” demikian kutipan dari Kitab Wulang Reh, pupuh VIII Wirangrong ayat 10.

RA. Kartini, tokoh emansipasi wanita yang juga memiliki pandangan kritis terhadap kolonialisme, menyuarakan keprihatinannya mengenai konsumsi candu di kalangan bumiputera. Dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon pada tahun 1889, Kartini tidak hanya mempertanyakan kesempurnaan masyarakat Eropa, tetapi juga melontarkan kritik terhadap imperialisme yang mengambil keuntungan dari penjualan candu kepada rakyat jelata.

Kartini melihat kolonialisme sebagai wajah kejam yang menghisap kekayaan bangsa melalui perdagangan candu. "Pemerintah kolonial mengisi dompetnya dengan menjual candu kepada rakyat bumiputera," tulisnya dengan nada yang membara. Bagi Kartini, kemerdekaan adalah jawaban untuk melepaskan diri dari cengkeraman kolonialisme dan kejahatan perdagangan narkoba.

Baca Juga: Pendidikan HOS Tjokroaminoto: Pemikir Bandel yang Berhasil Mengobarkan Ideologi Perlawanan

Boedi Oetomo, sebagai organisasi yang berperan penting dalam pergerakan nasional, juga mengingatkan pentingnya menjauhi candu. Pada tahun 1908, organisasi ini mengajak para pemuda bumiputera untuk tidak terjerumus dalam penggunaan narkotika.

Melihat sejarah panjang narkoba, khususnya candu, dalam konteks Indonesia, kita menjadi sadar bahwa perjuangan melawan narkoba bukanlah hal baru. Jauh sebelum kemerdekaan, para pemimpin dan tokoh telah menyadari dampak buruk yang ditimbulkan oleh narkotika terhadap individu dan bangsa. ***

Editor: Yudhista AP

Tags

Terkini

Terpopuler