"Bu Tjokro sendiri yang mengumpulkan uang makan kami setiap minggu. Dia membuat peraturan seperti makan malam jam sembilan dan yang terlambat tidak akan dapat makan, anak sekolah sudah harus ada di kamarnya jam 10 malam, anak sekolah harus bangun jam 4 pagi untuk belajar, dan main-main dengan anak gadis dilarang," ungkap Soekarno.
Baca Juga: Silsilah HOS Tjokroaminoto, Pendidikan, Karir Awal, dan Kehidupan Keluarganya
Rumah Tjokroaminoto bukan sekadar tempat tinggal, melainkan juga tempat berdiskusi dan membangun ideologi kerakyatan, demokrasi, sosialisme, dan anti-imperialisme.
Bukan hanya keluarga inti yang tinggal di sana, tetapi juga kerabat dekat yang kemudian menjadi tokoh penting di masa awal kemerdekaan, seperti Abikoesno Tjokrosujoso (adik kandung HOS Tjokroaminoto) dan Supardan (adik kandung R.A. Soeharsikin).
Pembukaan rumah kos ini juga memberikan pekerjaan bagi Mbok Tambeng, yang membantu keluarga Tjokroaminoto dalam mengurusi kebutuhan pemuda indekos, saudara, dan anak-anak.
Mbok Tambeng membantu dengan tugas-tugas seperti menjahit pakaian. Ia memasak, dan terkadang juga menyediakan gado-gado, makanan yang sering dipesan Soekarno.
Saat berumur 15 tahun, Soekarno tinggal bersama Tjokroaminoto saat sekolah di HBS Surabaya.
Raden Sukemi, ayah Soekarno, menitipkan anaknya kepada Tjokroaminoto pada tahun 1913 untuk menghindari pengaruh kebarat-baratan, meski Soekarno bersekolah di institusi Belanda.
"Sungguh pun engkau akan mendapat pendidikan Belanda, aku tidak ingin darah dagingku menjadi kebarat-baratan. Karena itu kau kukirim kepada Tjokro, orang yang dijuluki oleh Belanda sebagai raja Jawa yang tidak dinobatkan," tutur Soekarno menirukan ayahnya.