RA Soeharsikin: Ibu Kost Legendaris, Pendamping Tjokroaminoto Mengasuh Para Pemuda Aktivis Pergerakan

- 24 Mei 2024, 02:31 WIB
Ruang tamu di Jalan Peneleh VII Surabaya, rumah putih bernomor 29-31
Ruang tamu di Jalan Peneleh VII Surabaya, rumah putih bernomor 29-31 /Surabaya.go.id/


Songgolangit.com - Surabaya, awal abad ke-20, menjadi saksi bisu kebangkitan nasionalisme Indonesia yang dipelopori oleh tokoh-tokoh besar, salah satunya adalah Haji Oemar Said Tjokroaminoto.

Lahir di era pasca perang Diponegoro (1825-1830), Tjokroaminoto menyaksikan peralihan kekuasaan VOC yang bangkrut kepada Prancis, Inggris, dan akhirnya Belanda, yang mengukuhkan dominasi kolonial di tanah Jawa.

Tjokroaminoto, yang mengalami kesulitan berkembang di Semarang, memilih merantau ke Surabaya pada tahun 1906. Keputusan ini membawanya pada perjalanan hidup yang akan mengubah arah sejarah pergerakan nasional Indonesia.

Setelah menikah, ia dan keluarganya, termasuk anak pertama dan pembantu rumah tangga, menetap di Surabaya, di mana ia bekerja sebagai teknisi pabrik gula.

Baca Juga: Pendidikan HOS Tjokroaminoto: Pemikir Bandel yang Berhasil Mengobarkan Ideologi Perlawanan

Banyak yang mengakui, Tjokroaminoto mencapai derajat tinggi berkat dukungan dari sang istri, R.A. Soeharsikin.

Sebelum terjun penuh dalam dunia pergerakan, Tjokroaminoto dikenal sebagai sosok yang cerdas dan aktif di organisasi, termasuk Boedi Oetomo.

Namun, perjalanan hidupnya mengambil arah yang berbeda ketika Sarekat Dagang Islam (SDI) Solo mengalami cekal oleh pemerintah kolonial pada tahun 1912. Mencari solusi atas pembekuan ini, Samanhoedi mendengar tentang Tjokroaminoto dan memintanya bergabung dengan SDI.

Dengan kemampuannya yang mumpuni, Tjokroaminoto segera diangkut ke Solo dan merumuskan akte hukum baru untuk organisasi pada 10 September 1912.

Usulannya untuk mengubah nama SDI menjadi Sarekat Islam (SI) disetujui oleh Samanhoedi, dan sejak itu, Tjokroaminoto menjadi anggota penting SI Surabaya, bahkan menjadi ketuanya.

Baca Juga: RA Soeharsikin: Putri Ponorogo, Tiang Perjuangan HOS Tjokroaminoto yang Terlupakan

Dari sini, SI berkembang pesat di bawah kepemimpinan Tjokroaminoto, mendirikan cabang-cabang di berbagai daerah Jawa, hingga ke Batavia. Sebelum itu, ia sempat bekerja di Pabrik Gula Rogojampi sebagai chemiker, menunjukkan keahlian di bidang kimia.

Tjokroaminoto tidak hanya dikenal sebagai pemimpin SI, tetapi juga sebagai guru yang patut diteladani. Ia mendirikan perusahaan batik dan membuka rumahnya untuk indekos pemuda pada tahun 1912, memberikan kontribusi yang besar bagi Sarekat Islam.

Kisah Rumah Pemondokan di Peneleh

Rumah di Jalan Peneleh VII Surabaya, nomor 29-31, menjadi pusat nasionalisme Indonesia fase awal. Rumah yang dibeli atas pilihan Soeharsikin itu terletak di tengah perkampungan padat, hanya beberapa puluh meter dari kali Mas yang membelah kota Surabaya.

Tak terlampau besar untuk ukuran rumah saat itu, namun sudah dilengkapi dengan penerangan listrik.

Baca Juga: Fikiran Ra'jat: Majalah Radikal Soekarno yang Bersuara Lantang Melawan Imperialisme

Soeharsikin, istri Tjokroaminoto, membuka rumahnya untuk indekos pelajar di Surabaya, dengan kapasitas sekitar 20 orang. Mereka adalah pelajar dari MULO, HBS, MTS, dan NIAS. Hanya pelajar lelaki yang diizinkan tinggal di rumah tersebut.

Rumah HOS Tjokroaminoto di Jl. Peneleh VII Surabaya, no. 29-31, saat ini dijadikan museum dan cagar budaya oleh Pemkot Surabaya
Rumah HOS Tjokroaminoto di Jl. Peneleh VII Surabaya, no. 29-31, saat ini dijadikan museum dan cagar budaya oleh Pemkot Surabaya

Sukarno, salah satu penghuni rumah tersebut, mengenang, "Rumah itu dibagi menjadi sepuluh kamar-kamar kecil, termasuk yang di loteng. Keluarga Pak Tjokro tinggal di depan. Kami anak-anak kos di belakang." Biaya sewa kamar dan makan dua kali sehari adalah 11 gulden, atau setara USD 4 saat itu.

Soeharsikin sendiri yang mengatur urusan keuangan, logistik, dan disiplin pendidikan di rumah tersebut.

"Bu Tjokro sendiri yang mengumpulkan uang makan kami setiap minggu. Dia membuat peraturan seperti makan malam jam sembilan dan yang terlambat tidak akan dapat makan, anak sekolah sudah harus ada di kamarnya jam 10 malam, anak sekolah harus bangun jam 4 pagi untuk belajar, dan main-main dengan anak gadis dilarang," ungkap Soekarno.

Baca Juga: Silsilah HOS Tjokroaminoto, Pendidikan, Karir Awal, dan Kehidupan Keluarganya

Rumah Tjokroaminoto bukan sekadar tempat tinggal, melainkan juga tempat berdiskusi dan membangun ideologi kerakyatan, demokrasi, sosialisme, dan anti-imperialisme.

Bukan hanya keluarga inti yang tinggal di sana, tetapi juga kerabat dekat yang kemudian menjadi tokoh penting di masa awal kemerdekaan, seperti Abikoesno Tjokrosujoso (adik kandung HOS Tjokroaminoto) dan Supardan (adik kandung R.A. Soeharsikin).

Pembukaan rumah kos ini juga memberikan pekerjaan bagi Mbok Tambeng, yang membantu keluarga Tjokroaminoto dalam mengurusi kebutuhan pemuda indekos, saudara, dan anak-anak.

Mbok Tambeng membantu dengan tugas-tugas seperti menjahit pakaian. Ia memasak, dan terkadang juga menyediakan gado-gado, makanan yang sering dipesan Soekarno.

Baca Juga: Peran HOS Tjokroaminoto dalam Perjuangan: Keadilan dan Otonomi Daerah dalam Sejarah Pergerakan Nasional

Saat berumur 15 tahun, Soekarno tinggal bersama Tjokroaminoto saat sekolah di HBS Surabaya.

Raden Sukemi, ayah Soekarno, menitipkan anaknya kepada Tjokroaminoto pada tahun 1913 untuk menghindari pengaruh kebarat-baratan, meski Soekarno bersekolah di institusi Belanda.

"Sungguh pun engkau akan mendapat pendidikan Belanda, aku tidak ingin darah dagingku menjadi kebarat-baratan. Karena itu kau kukirim kepada Tjokro, orang yang dijuluki oleh Belanda sebagai raja Jawa yang tidak dinobatkan," tutur Soekarno menirukan ayahnya.

Orang tua yang menitipkan anaknya di kos-kosan Tjokroaminoto tidak lagi melihat kondisi fisik rumahnya, tetapi juga kepercayaan mereka terhadap Soeharsikin dan Tjokroaminoto. Dibandingkan rumah indekos, rumah Tjokroaminoto lebih mirip ndalem di pesantren.

Baca Juga: Kertas Gedhog dan Warisan Ilmu: Kisah Pesantren Tegalsari Ponorogo

Rumah tersebut menjadi tempat di mana pendidikan karakter dan nasionalisme ditanamkan, tidak hanya melalui pengajaran formal, tetapi juga melalui cerita dan teladan.

Willy Tjokroaminoto, cicit Tjokroaminoto, mengungkapkan bahwa hingga kini, pendidikan melalui kepenokohan masih dilanjutkan oleh keturunan Tjokroaminoto, membawa nilai-nilai kepahlawanan dari kisah Mahabharata dan Ramayana ke dalam pembentukan karakter generasi muda.

Rumah Peneleh, yang terbagi menjadi sepuluh kamar kecil termasuk loteng, menjadi tempat tinggal bagi keluarga Soeharsikin di bagian depan dan anak-anak kos di bagian belakang.Di bagian belakang rumah itu terdapat halaman kecil dan kandang kuda.

Rumah Pergerakan dan Pengkaderan Nasionalisme Indonesia

Soekarno, yang masih remaja, menghuni kamar yang amat sederhana, tanpa jendela, pintu, bantal, atau kasur. Kamar yang gelap ini, menurut Soekarno, dipenuhi oleh buku-buku, kursi, tempat baju, dan tikar pandan sebagai alas tidur.

Kondisi ini tidak menghalangi semangatnya untuk belajar, bahkan menjadi simbolisasi bahwa penuntut ilmu harus menahan diri dan ber'laku' agar ilmunya dapat bercahaya dan menerangi orang lain.

Baca Juga: Tradisi Nyekar Ke Makam: Perpaduan Unik Tradisi Jawa dan Nilai Islam

Di rumah inilah Soekarno, yang datang ke Surabaya dan tinggal bersama H.O.S. Tjokroaminoto, menghabiskan waktu untuk melahap buku-bacaan.

H.O.S. Tjokroaminoto, yang berumur 33 tahun saat itu, telah memulai proses laku tirakat mengkader murid-muridnya dengan menyajikan kamar yang penuh tantangan, mendorong mereka untuk hidup dalam kelimpahan ilmu daripada kelimpahan materi.

Selain sebagai tempat indekos, rumah Tjokroaminoto juga menjadi tempat berkumpulnya pemuda-pemuda yang bergerak dalam politik dan sosial, termasuk Alimin, Ketua Umum PKI pertama, dan Kartosuwiryo. Mereka datang dan pergi di waktu berbeda, memberikan warna pada dinamika pergerakan di rumah tersebut.

Tjokroaminoto sendiri dikenal melawan aturan sembah jongkok kepada Belanda, mengajarkan bahwa seorang muslim tidak boleh takut selain kepada Allah. Dia menanamkan nilai-nilai kemerdekaan, persaudaraan, dan persamaan, yang menjadi fondasi bagi pemuda-pemuda yang tinggal di rumahnya.

Soeharsikin, istri Tjokroaminoto, tidak hanya dikenal sebagai pengrajin batik cekatan dari Plampitan yang menjadi pusat batik terkenal hingga 1970-an, tetapi juga sebagai sosok penting yang menjembatani hubungan antara Soekarno dan Tjokroaminoto.

Baca Juga: Hartini: Istri Bung Karno Kelahiran Ponorogo, yang Setia Hingga Hembusan Nafas Terakhirnya

Peran Soeharsikin dalam mendidik para penghuni kos, termasuk Soekarno, tidak dapat diabaikan.

Soekarno, yang menganggap Soeharsikin sebagai pengganti ibunya, mendapatkan kesempatan untuk belajar dan berdiskusi langsung dengan tokoh-tokoh penting yang mengunjungi rumah Tjokroaminoto.

"Pak Tjokro adalah pujaanku. Aku muridnya. Secara sadar atau tidak sadar ia menggemblengku," ungkap Soekarno dalam bukunya.

Di gang Peneleh itu pula, Soekarno dan teman-temannya bertemu dengan tokoh-tokoh pembaharu Islam, seperti Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.

Diskusi-diskusi yang terjadi di dapur cakrawala gang Peneleh menjadi tempat penyatuan massa dan aktivitas pergerakan, memberikan dampak signifikan bagi para pelajar kos, termasuk Soekarno yang menganalisis pemikiran Ahmad Dahlan dan gerakan Muhammadiyah yang dipandang modern.

Baca Juga: Rakyat Ponorogo Memberikan Gelar Ki Lurah Agung kepada Bung Karno

Rumah Tjokroaminoto, yang menjadi pusat kegiatan Sarekat Islam, memungkinkan Soekarno muda untuk menimba ilmu dari berbagai tokoh dan memperluas hubungan sosialnya.

Soekarno sering berdiskusi dengan tokoh penting hingga dini hari, menyerap berbagai topik yang didiskusikan, dan memperkaya wawasannya.

Kedekatan Soekarno dengan Tjokroaminoto dan Soeharsikin membentuk karakter dan pemikirannya yang kelak menjadi dasar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Rumah Pak Tjokro, dengan pendidikan informal yang diberikannya, menjadi role model pengkaderan yang berhasil melahirkan tokoh-tokoh besar yang memberikan pergerakan besar baik pra maupun masa kemerdekaan Indonesia.

Baca Juga: Misteri Kisah Reog Ponorogo dalam Serat Centhini: Eksistensi Sejarah dan Kontroversi

Dalam diskusi bertajuk "RA. Soeharsikin: Perlawanan Perempuan Indonesia," Wily Tjokroaminoto, cicit dari HOS Tjokroaminoto, menjelaskan peran Soeharsikin dalam mendukung gerakan-gerakan yang dilakukan oleh Tjokroaminoto di Sarekat Islam, menegaskan bahwa perempuan juga memiliki peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. ***

Editor: Yudhista AP


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah