Skandal Brotodiningrat: Pengadilan, Pengasingan, serta Pembelaan Tirto Adhi Soerjo dan Snouck Hurgronje

27 Mei 2024, 02:48 WIB
Kisah Dramatis Bupati Madiun Melawan Fitnah Kolonial /hsgautama.blogspot.com/Hidayat S Gautama

Songgolangit.com - Pada tanggal 6 Oktober 1899, sebuah insiden pencurian yang terjadi di kediaman J.J Donner, Residen Madiun, memicu skandal besar dalam struktur kekuasaan kolonial di Jawa.

Peristiwa yang tampak sebagai kejahatan konvensional pada mulanya ini, berkembang menjadi sebuah episode yang menyeret nama Bupati Madiun, Brotodiningrat, ke dalam pusaran plot politik yang rumit.

Brotodiningrat, seorang bupati yang dikenal tegas dan tidak kompromistis terhadap pihak Belanda, mendapati dirinya dituduh sebagai dalang di balik hilangnya barang-barang di rumah residen, termasuk gorden yang memiliki nilai sentimental bagi Donner.

Tuduhan yang disampaikan Donner mengandung nuansa subversi, menggambarkan insiden pencurian tersebut sebagai bagian dari rencana terstruktur untuk menumbangkan wibawa dan menghina otoritas birokrat kolonial tersebut. Apalagi, ia mengkaitkan dengan kemungkinan berkobarnya pemberontakan fase berikutnya pasca Diponegoro.

Baca Juga: RA Soeharsikin: Ibu Kost Legendaris, Pendamping Tjokroaminoto Mengasuh Para Pemuda Aktivis Pergerakan

Sebagai respon terhadap tuduhan yang mengada-ada itu, Brotodiningrat yang merasa difitnah, mengambil langkah proaktif dengan menggerakkan weri, agen intelijen lokal, untuk mengungkap fakta sebenarnya. Namun, upaya ini tampaknya tidak cukup untuk meredam prasangka Donner yang telah terlanjur menduga-duga tanpa dasar yang kuat.

Meskipun pencuri sebenarnya telah tertangkap, kecurigaan Donner tidak juga mereda. Dalam laporannya yang panjang dan detail 'data' kepada Gubernur Jenderal Willem Rooseboom di Batavia, Donner mencampuradukkan fakta dengan asumsi konspirasi yang dibangun atas dasar kecurigaannya sendiri. Hal ini mengakibatkan pihak Raad van Indie (Dewan Hindia) tertarik, dan menyarankan penyelidikan lebih lanjut.

Donner tidak berhenti sampai di situ. Ia menghubungi Gubernur Jenderal dengan tujuan untuk meminta agar Brotodiningrat diasingkan dari Jawa, sekaligus menghasut bupati-bupati lain untuk mengucilkan Brotodiningrat.

Brotodiningrat melawan tindakan semena-mena itu. Ia menggunakan jasa pengacara untuk memberikan pembelaan di pengadilan, dan berkolaborasi dengan media massa untuk membangun opini publik. Peristiwa ini menandai momen penting dalam sejarah kolonial, di mana seorang pegawai pribumi berani berdiri melawan sistem kekuasaan penjajah, melalui advokat di jalur hukum.

Baca Juga: Pendidikan HOS Tjokroaminoto: Pemikir Bandel yang Berhasil Mengobarkan Ideologi Perlawanan

Namun, keadilan seakan tertutup oleh kekuasaan kolonial, dengan keputusan pengadilan yang tidak memihak Brotodiningrat, berujung pada pengasingannya ke Padang. Gubernur Jenderal mengeksekusinya dengan hak eksorbitante (exorbitante rechten) untuk mengasingkannya.

Di sisi lain, jurnalis Tirto Adhi Soerjo mengangkat kasus ini ke level nasional dengan mengungkap ketidakadilan yang terjadi. Tirto mengangkat skandal fitnah yang dilancarkan J.J. Donner kepada Brotoninggrat melaui sebuah polemik di dalam kolom 'Dreyfusiana', di koran Pembrita Betawi. Kasus ini dikenal dengan sebutan 'Skandal Donner'.

Atas desakan dan saran Tirto, penasihat urusan pribumi, C. Snouck Hurgronje akhirnya ditugaskan pemerintah melakukan penyelidikan. Algemene Secretarie menunjuk Snouck Hurgronje untuk menganalisa sejumlah laporan Donner kepada Gubernur Jenderal. Hasilnya, Snouck menyimpulkan bahwa Brotodiningrat adalah korban salah tafsir.

Profesor C. Snouck Hurgronje dalam suratnya pada tanggal 29 Desember 1902 kepada Gubernur Jenderal William Roterboom menyimpulkan bahwa tuduhan J.J Donner pada Brotodiningrat adalah salah.

Baca Juga: Pemkab Ponorogo Berupaya Kembalikan Karya Sastra Ronggowarsito dari Museum Belanda

Berdasarkan paparan dalam surat Snouck tersebut, pemerintah kolonial mengembalikan posisi Brotodinigrat dengan status pensiun dengan hormat, dengan memperoleh uang pensiun sebesar f 250 per bulan. Secara lisan, ia diberitahu agar tidak tinggal di Madiun. Sementara itu J.J Donner juga diberhentikan pemerintah, dan dipulangkan ke negerinya.

Setelah pengasingan dan pengembalian status pensiun dengan hormat, Brotodiningrat menghabiskan masa tuanya di Yogyakarta, meskipun ada versi lain yang menyebutkan ia tetap di Ngawi.

Dia meninggal pada 16 Maret 1927 dan dimakamkan di Astana Srandil di Sumoroto Ponorogo, yang kini menjadi situs sejarah yang dijaga oleh Pemkab Ponorogo.

Brotodiningrat menjabat bupati pada usia 21 tahun di Sumoroto, dan pada usia 27 menjadi bupati Ngawi. Brotodiningrat, yang pernah memprakarsai pembangunan Masjid Agung Ngawi, merupakan bupati yang berprestasi dan menduduki berbagai jabatan penting di usia muda. Jabatan terakhirnya ialah sebagai Bupati Madiun yang ke-23.

Baca Juga: Menelusuri Jejak Amarah Mangkunegoro di Kisah Sejarah Tambakbayan

Penyingkirannya menandai titik kelam dalam sejarah pemerintahan lokal di Jawa, di mana kekuasaan kolonial tampaknya tidak bisa mentolerir keberadaan pejabat pribumi yang kuat dan mandiri.

Kasus Brotodiningrat memberikan pelajaran tentang dinamika kekuasaan yang berlaku pada zaman kolonial dan menyeruakkan keberanian serta perjuangan seorang pejabat pribumi melawan konspirasi dan ketidakadilan penjajah. Kisah ini akan terus dikenang sebagai bagian dari narasi perjuangan bangsa Indonesia dalam mengusir penjajah dan menegakkan keadilan bagi para pembelanya. ***

Editor: Yudhista AP

Tags

Terkini

Terpopuler