Kesehatan Di Usia 35-40 Tahun Ke Atas: Waspadai Gejala Hipertensi dan Pencegahan Penyakit Jantung Koroner

- 27 Juni 2024, 21:00 WIB
Pria mengalami serangan jantung saat olahraga
Pria mengalami serangan jantung saat olahraga /FOTO: ANTARA/Shutterstock

Songgolangit.com - Sebagai salah satu penyakit mematikan yang kerap tidak terdeteksi, penyakit jantung koroner (PJK) menjadi sorotan dalam seminar daring "Bicara Sehat ke-96 RS UI: Mengenal Penyakit Jantung Koroner".

Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, dr. Prima Almazini Sp.JP, Subsp. Eko (K), FIHA, menekankan pentingnya pencegahan penyakit jantung koroner, khususnya bagi mereka yang berusia 35-40 tahun ke atas.

Menurut dr. Prima, proses penyumbatan atau penyempitan pembuluh darah arteri koroner oleh plak merupakan akumulasi faktor risiko yang berlangsung lama. "Sejak usia muda, plak sudah mulai terbentuk pada dinding pembuluh darah. Proses ini berlangsung bertahap dan lama-kelamaan semakin menebal, menyebabkan penyumbatan atau penyempitan yang dapat berujung pada serangan jantung mendadak di usia lanjut," jelasnya.

Dalam konteks global, dr. Prima mengungkapkan bahwa setiap tiga detik, seseorang meninggal akibat PJK atau stroke. Di Indonesia, statistiknya pun cukup mengkhawatirkan dengan satu dari sepuluh kematian disebabkan oleh penyakit ini. Biaya pelayanan kesehatan untuk penyakit jantung mencapai Rp7,4 triliun pada tahun 2016, menjadikannya beban ekonomi yang signifikan.

Baca Juga: Membangkitkan Kesadaran Generasi Muda Ponorogo pada Potensi Penyakit Jantung di Hari Hipertensi Sedunia

Plak yang menjadi akar masalah dapat disebabkan oleh berbagai faktor risiko seperti hipertensi, diabetes melitus, obesitas, kolesterol tinggi, dan kebiasaan merokok.

"Faktor-faktor ini hanya dapat terdeteksi melalui pemeriksaan kesehatan rutin dan konsultasi dengan dokter," tegas dr. Prima. Dia menambahkan bahwa deteksi dini sangat penting untuk mengelola risiko dan menghindari konsekuensi fatal.

Untuk mengurangi risiko, dr. Prima menyarankan untuk berhenti merokok, berolahraga teratur, menjalani diet seimbang, istirahat yang cukup, dan pengelolaan stres yang baik.

"Adopsi gaya hidup sehat, seperti mengurangi konsumsi garam, gula, dan makanan berminyak, serta melakukan aktivitas fisik teratur dan kontrol kesehatan rutin adalah langkah penting dalam pencegahan," imbuhnya.

Baca Juga: Pelayanan Medis Arab Saudi di Haji 2024: Operasi Jantung Terbuka Hingga Ambulans Udara!

PJK sering disebut sebagai silent killer karena seringkali tidak menunjukkan gejala sebelumnya. "Sumbatan yang timbulnya bertahap sudah mencapai puncaknya, mengakibatkan gangguan pada fungsi otot jantung dan kerusakan pada tubuh secara keseluruhan," ujar dr. Prima.

Gejala yang dapat timbul, seperti nyeri dada yang berat, rasa terbakar, keringat dingin, lemah, mual, dan pusing, menuntut perhatian segera.

Dalam penanganan yang telah terjadi, terapi non-operatif seperti pemberian obat-obatan dan pemasangan ring bisa menjadi pilihan. "Terapi pemasangan ring ditujukan untuk pengobatan, bukan pencegahan," jelas dr. Prima. Sementara itu, operasi by pass menjadi metode lain dengan tujuan memperlancar aliran darah ke jantung.

Melalui pemahaman mendalam tentang penyakit jantung koroner, masyarakat diharapkan dapat lebih waspada dan proaktif dalam menjalankan pencegahan. Karena itulah, edukasi kesehatan seperti yang disampaikan dalam seminar ini menjadi krusial dalam upaya mengurangi angka prevalensi dan mortalitas akibat penyakit jantung koroner.

Baca Juga: Asam Lambung Naik Kepala Pusing, Begini Cara Menyembuhkan Sakit Kepala Karena Maag dan Asam Lambung

Ilustrasi, Pengertian Hipertensi Esensial: Dasar dan Penyebabnya
Ilustrasi, Pengertian Hipertensi Esensial: Dasar dan Penyebabnya

Mengapa Orang Asia Lebih Rentan Hipertensi? Faktor Genetik dan Garam Jadi Sorotan!

Kecenderungan populasi Asia terhadap penyakit hipertensi tampaknya lebih tinggi dibandingkan dengan ras lainnya. Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia (INASH) mengungkapkan bahwa faktor genetik menjadi salah satu penyebab utama.

"Populasi Asia itu punya gen yang sensitif dengan garam. Dibandingkan dengan (orang) Eropa, ini merupakan salah satu faktor risiko terjadinya tekanan darah tinggi atau hipertensi dan ini berbeda dengan ras Kaukasia," ungkap dr. Eka Harmeiwaty, Sp.S, Ketua INASH.

Dalam sebuah wawancara di Jakarta, Eka menyatakan bahwa kecenderungan genetik ini diperparah oleh budaya konsumsi garam yang tinggi di kalangan masyarakat Asia.

Baca Juga: Rahasia Manfaat Ikan Teri: Nutrisi Super untuk Ibu Hamil dan Pencegah Penyakit Mematikan!

"Di Jepang, Korea, dan China, misalnya, mereka menyukai makanan yang telah difermentasi seperti stinky tofu, kimchi, dan natto," jelasnya. Hal serupa terjadi di Indonesia, dimana ragam makanan seperti sambal, ikan asin, dan camilan asin menjadi bagian tak terpisahkan dari pola makan sehari-hari.

Hipertensi, yang seringkali tidak menunjukkan gejala spesifik, dapat menyebabkan komplikasi serius bila tidak ditangani dengan baik. "Garam itu menyebabkan resistensi cairan, makanya volume darah banyak, jadi, tekanan darah tinggi," terang Eka.

Komplikasi yang mungkin timbul akibat hipertensi termasuk stroke, serangan jantung, gagal ginjal, hingga kebutuhan untuk cuci darah, yang ditemukan tidak hanya pada lansia tetapi juga pada usia muda.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 dari Kementerian Kesehatan Indonesia mencatat prevalensi hipertensi di negara ini telah mencapai 34,1 persen. "Itu sudah genetik dan genetik itu sudah tidak bisa di apa-apakan. Orang Asia itu memang secara genetik lebih sensitif dengan garam," lanjut Eka, menggarisbawahi pentingnya kesadaran akan kondisi ini.

Baca Juga: Takut Kena Penyakit Pikun di Usia Senja? Ikuti Tips Ajaib Ini untuk Memori yang Kuat!

Untuk mengendalikan risiko hipertensi, INASH menyarankan masyarakat untuk membatasi konsumsi garam tidak lebih dari lima gram per hari. "Lebih baik memasak lauk pauk di rumah karena takaran bumbu dapat diatur," sarannya.

Selain itu, konsumsi daun seledri dan mentimun serta memperbanyak konsumsi air putih disebut dapat menurunkan tekanan darah tinggi. Penderita hipertensi juga diimbau untuk mengurangi konsumsi kopi, khususnya bagi mereka dengan kondisi hipertensi berat.

Pengetahuan tentang pengaruh genetik dan pola makan terhadap hipertensi sangat penting untuk pencegahan dan pengendalian penyakit ini. Edukasi dan perubahan gaya hidup menjadi kunci dalam mengurangi risiko hipertensi yang semakin meningkat di Asia. ***

Editor: Yudhista AP

Sumber: ANTARA


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah