Krisis Lapangan Kerja: Ketika Generasi Z Pengangguran Terjebak di Antara Aspirasi dan Realitas

- 25 Mei 2024, 09:49 WIB
Bukan Gen Z: pekerja menyelesaikan pembuatan pakaian di salah satu pabrik garmen di Banjarnegara, Jawa Tengah, Senin (15/1/2023)
Bukan Gen Z: pekerja menyelesaikan pembuatan pakaian di salah satu pabrik garmen di Banjarnegara, Jawa Tengah, Senin (15/1/2023) /ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/nz./

Songgolangit.com - Persoalan ketidaksesuaian antara kebutuhan industri dan kualifikasi angkatan kerja baru, terutama generasi Z, memunculkan dilema peningkatan angka pengangguran di Indonesia.

Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, mengungkapkan bahwa lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan kelompok terbesar dalam statistik pengangguran, dengan persentase mencapai 8,9%.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan bahwa generasi Z, yakni mereka yang lahir antara tahun 1997 dan 2012, menjadi kontributor utama dalam angka pengangguran. Proyeksi populasi menunjukkan bahwa pada tahun 2024, jumlah generasi Z akan mencapai 80-85 juta jiwa.

Menurut BPS, pada Agustus 2023, terdapat 9,9 juta orang dalam kelompok usia 15-24 tahun yang tidak terlibat dalam kegiatan pendidikan, pekerjaan, maupun pelatihan (NEET).

Baca Juga: Rakernas PDIP: Antara Ideologi Partai dan Manuver Politik Jokowi, Ini Penjelasan Panda Nababan

Angka ini setara dengan 22,25% dari total populasi usia tersebut di Indonesia. Dari jumlah NEET tersebut, 5,73 juta adalah perempuan muda dan 4,17 juta adalah laki-laki muda, dengan lulusan SMK sebagai penyumbang terbesar.

Survei Angkatan Kerja Nasional BPS pada Februari 2024 mencatat angkatan kerja Indonesia mencapai 149,38 juta orang, dengan tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 4,82% atau sekitar 7,20 juta orang. Dari angka tersebut, 16,82% adalah individu berusia 15-24 tahun.

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyoroti pelemahan industri padat karya dan keterbatasan industri padat modal dalam menyerap tenaga kerja. Hal ini mendorong pergeseran tenaga kerja dari sektor formal ke sektor informal.

"Pendidikan generasi Z yang relatif lebih tinggi membuat mereka mengharapkan pekerjaan yang lebih baik dan sesuai dengan pendidikan yang telah ditempuh," tutur Bob, salah satu narasumber.

Baca Juga: Cara Cek Email Penipuan, Waspada Kejahatan Siber Melalui Kiriman Email dan APK

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, menambahkan bahwa banyak pekerjaan generasi Z tidak terdeteksi, seperti pembuat konten di media sosial Instagram, YouTube, dan platform online lainnya.

"Mereka lebih suka kerja by remote yang tidak terikat waktu dan tempat dengan penghasilan yang mungkin lebih besar," kata Esther.

Sementara itu, Joshua Pardede, seorang analis ekonomi, menyoroti kesulitan generasi muda dalam mendapatkan akses ke pekerjaan formal. Menurutnya, perubahan gaya kerja generasi muda yang cenderung menginginkan fleksibilitas menjadi salah satu faktor penyebab.

"Infrastruktur perekonomian Indonesia perlu diperkuat dengan teknologi untuk menopang kebutuhan tersebut," ujarnya.

Baca Juga: Kemudahan Cek dan Pembayaran Denda Surat Tilang Online Melalui HP

Pardede juga mengingatkan bahwa rendahnya porsi generasi muda dalam pekerjaan formal dapat berdampak pada penerimaan pajak negara, mengingat sektor informal sulit untuk dikenakan pajak dan tidak terdaftar pada BPJS Ketenagakerjaan. "Tantangannya adalah menciptakan lapangan kerja yang produktif," pungkas Pardede. ***

Editor: Yudhista AP

Sumber: Antara


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah